Beranda | Artikel
MENGAPA KITA HARUS BISA MEMBACA KITAB?
Sabtu, 7 Februari 2009

Segalapuji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, amma ba’du.

Pentingnya bahasa Arab adalah perkara yang sudah tidak asing bagi kita. al-Qur’an yang membawa bimbingan hidup bagi umat manusia adalah sebuah kitab yang berbahasa Arab. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Kami menurunkannya (al-Qur’an) berupa bacaan yang berbahasa Arab semoga kalian mau memikirkan.” (QS. Yusuf : 2). Demikian pula hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga diriwayatkan dalam kitab-kitab ensiklopedi hadits dengan bahasa Arab.

Tak heran apabila Khalifah kedua yaitu Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu memesankan, “Pelajarilah bahasa Arab, sesungguhnya ia adalah bagian dari agama kalian.” Seandainya tidak ada keutamaan bahasa Arab selain ini maka niscaya hal itu sudah cukup untuk memompa semangat kita dalam mempelajarinya. Bagaimana tidak? Sementara Allah ta’ala memerintahkan kepada kita untuk kembali kepada keduanya ketika terjadi perselisihan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Kemudian apabila kalian berselisih tentang sesuatu maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (as-Sunnah) jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir.” (QS. an-Nisaa’ : 59).

Tidak halal membahas tafsir bagi yang tidak paham bahasa Arab
Disebutkan oleh Syaikh Manna’ al-Qaththan di dalam Mabahits fi ‘Ulumil Qur’an (hal. 331) sebuah riwayat dari Mujahid -seorang tabi’i murid dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma- yang mengatakan, “Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir berbicara tentang Kitabullah apabila dia tidak memiliki pemahaman mengenai bahasa Arab.” Hal ini dapat kita pahami bersama dikarenakan ayat-ayat al-Qur’an itu berbahasa Arab, sementara tidak mungkin bisa memberikan penafsiran terhadap kata-kata dalam bahasa Arab kecuali orang yang mengerti bahasa Arab (lihat juga Risalah Bid’ah Risalah Bid’ah karya Ust. Abdul Hakim Abdat hal. 94). Dari sini kita pun dapat mengetahui kekeliruan sebagian kelompok yang hanya mencukupkan diri dengan membaca terjemah al-Qur’an yang ada tanpa mau berusaha mempelajari bahasa arab atau mengkaji kitab-kitab tafsir yang notabene berbahasa Arab.

Tidak paham bahasa Arab sumber kebid’ahan
Disebutkan oleh Syaikh Ali Hasan -menukil dari keterangan Syaikh Mahmud Syaltut- bahwa salah satu sebab utama tersebarnya bid’ah di tengah-tengah kaum muslimin adalah karena kebodohan terhadap sumber-sumber hukum syari’at dan ketidakpahaman mengenai sarana-sarana untuk memahaminya. Dan salah satu di antara sarana untuk memahaminya adalah bahasa Arab.Salah satu contoh penyimpangan amal yang muncul karena tidak paham dengan bahasa Arab adalah perbuatan sebagian orang yang berdalil dengan hadits, “Apabila kalian mendengar mu’adzin mengumandangkan adzan maka ucapkanlah sebagaimana apa yang diucapkan olehnya kemudian panjatkan shalawat kepadaku.” (HR. Muslim [384] dari Abdullah bin Amr bin al-‘Ash radhiyallahu’anhu). Mereka mengatakan bahwa doa setelah adzan itu juga disyariatkan dibaca oleh mu’adzin – dengan alasan hadits ini ditujukan kepada semua kaum muslimin yang mendengar adzan, termasuk di dalamnya mu’adzin itu sendiri- padahal sesungguhnya tidak demikian! (lihat Ilmu Ushul Bida’, hal. 43-45, lihat juga Risalah Bid’ah karya Ust. Abdul Hakim Abdat hal. 58)

Contoh lainnya adalah amalan dzikir sebagian orang yang mengucapkan, “Allah, Allah” atau “Hu, hu” atau “Huwa, huwa.” di dalam wiridnya. Tentu saja hal ini merupakan perkara yang diada-adakan di dalam agama (lihat Risalah Bid’ah karya Ust. Abdul Hakim Abdat hal.93)

Paham bahasa Arab jembatan untuk berijtihad
Yang dimaksud dengan ijtihad secara bahasa adalah mengerahkan segenap kemampuan untuk suatu keperluan. Sedangkan dalam terminologi syari’at ijtihad adalah mengerahkan segenap kemampuan untuk meneliti dalil-dalil syari’at dalam rangka menarik kesimpulan hukum syari’at darinya (lihat Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah, hal. 470). Syaikh Muhammad bin Husain al-Jizani menyebutkan di dalam Ma’alim Ushul Fiqh bahwa terdapat beberapa buah persyaratan yang harus dipenuhi agar seseorang bisa melakukan ijtihad, di antaranya adalah memahami sumber hukum syari’at dan juga memahami bahasa Arab maksudnya adalah mampu memahami ucapan dalam bahasa Arab (hal. 479). Dari sini kita bisa mengetahui bahwa perbuatan sebagian orang yang berani mengeluarkan pendapat-pendapat aneh dalam persoalan agama ini -padahal mereka tidak paham bahasa Arab- dengan mengatasnamakan ijtihad adalah sebuah kekeliruan. Dengan demikian sudah semestinya bagi para aktivis dakwah di mana saja untuk bersemangat dalam mempelajari bahasa Arab di tengah-tengah kesibukan mereka.

Yang sangat kita sayangkan adalah tidak sedikit di kalangan mereka yang begitu bersemangat untuk turun ke jalan meneriakkan tuntutan-tuntutan dalam unjuk rasa dan semacamnya, namun untuk memaksa dirinya duduk di majelis ilmu untuk mempelajari bahasa Arab dasar dalam beberapa saat saja mereka tidak sanggup, inikah yang disebut sebagai kebangkitan Islam -as-Shohwah al-Islamiyah- itu? Ketika ada yang menasihati mereka untuk bersabar menuntut ilmu maka dengan lincahnya mereka mengatakan, “Dakwah gerakan kami adalah dakwah yang bijak, semuanya ada ahlinya. Kalau urusan ilmu itu kami serahkan sepenuhnya kepada para ulama dan orang yang menekuni bidangnya.” Subhanallah! Sepeti inikah semangat jihad yang mereka bangga-banggakan? Padahal Abud Darda’ radhiyallahu’anhu mengatakan, “Barangsiapa yang berpandangan bahwa hilir mudik pagi dan petang dalam rangka menimba ilmu bukan temasuk jihad maka sungguh akalnya sudah tidak beres.” (lihat Muqadimah al-‘Ilmu fadhluhu wa Syarafuhu oleh Syaikh Ali al-Halabi)

Tidak paham bahasa Arab sumber kesyirikan
Ini merupakan bahaya yang paling mengerikan. Orang yang tidak paham bahasa Arab sangat rentan terjerumus dalam kemusyrikan dalam keadaan tidak sadar. Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu di dalam Kitabnya Minhaj al-Firqah an-Najiyah (hal. 121-122) telah membeberkan kekeliruan sebagian kaum muslimin yang mengamalkan sebuah bacaan shalawat yang cukup terkenal yaitu shalawat Nariyah. Beliau menyatakan bahwa di dalam bacaan ini terkandung keysirikan yang amat nyata di dalamnya. Di antara penyimpangan aqidah alias kesyirikan yang terkandung di sana adalah ungkapan bahwa Nabi Muhammad dapat melepaskan ikatan-kitan (keruwetan masalah) yang ada di dalam hati manusia, beliau pula yang bisa memberikan jalan keluar bagi kesempitan dan terpenuhinya segala kebutuhan dan harapan mereka. Padahal aqidah islam mengajarkan kepada kita bahwa itu semua hanya dikuasai oleh Allah semata.

Apabila kita cermati tersebarnya amalan yang bid’ah -plus syirik- semacam ini tidak lain karena ketidakmengertian -atau pura-pura tidak tahu- pada diri sebagian kaum muslimin. Tentu saja hal ini merupakan fenomena yang sangat menyedihkan. Negara kita yang notabene berpenduduk muslim terbesar di dunia namun keysirikan yang ada dan membudaya di masyarakat kita sudah tak ubahnya seperti cagar budaya yang tidak boleh diusik oleh siapapun juga. Inilah keterasingan Islam yang kita alami pada abad ini, laa haula wa laa quwwata illa billah! Contoh penyimpangan dalam hal tauhid akibat ketidakpahaman terhadap bahasa Arab adalah pemaknaan kata ilah dalam syahadat laa ilaha illallah sebagai al-Qadir ‘alal Ikhtira’ (Yang berkuasa untuk mencipta) sebagaimana yang diyakini oleh kaum Asya’irah -orang-orang yang mengaku mengikuti Syaikh Abul Hasan al-Asy’ari rahimahullah-. Padahal makna ilah dalam bahasa Arab adalah ma’bud/sesembahan, pujaan atau tempat bergantungnya hati. Akibat kekeliruan ini maka mereka menafsirkan laa ilaha illallah menjadi tauhid rububiyah bukan tauhid uluhiyah yang sebenarnya itu merupakan maknanya yang sejati (penjelasan lebih jelas bisa dibaca di dalam at-Tamhid syarh Kitab at-Tauhid karya Syaikh Shalih bin Abdul Aziz alu Syaikh).

Penutup
Dengan menelaah berbagai hal di atas, maka sudah semestinya kita -selama Allah masih memberikan kemampuan dan kesempatan kepada kita, terutama yang masih muda- untuk serius mempalajari ilmu bahasa Arab agar bisa memahami ayat-ayat al-Qur’an, sabda-sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan penjelasan para ulama. Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah menjelaskan di dalam Bahjat al-Qulub al-Abrar bahwa bahasa arab merupakan salah satu bagian dari ilmu yang bermanfaat, karena hakikat ilmu yang bermanfaat itu adalah ilmu yang dapat membersihkan hati dan ruh dan membuahkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat, yang itu semua terrangkum dalam ilmu tafsir, hadits dan fiqih serta ilmu lain yang membantu untuk memahaminya, salah satunya bahasa Arab (hal. 42).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bersemangatlah terhadap segala hal yang bermanfaat bagimu dan mintalah pertolongan kepada Allah, dan jangan lemah.” (HR. Muslim [2664] dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)

Semoga Allah ta’ala memudahkan jalan kita untuk menggapai surga-Nya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami niscaya Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan menuju keridhaan Kami.” (QS. al-‘Ankabut : 69). Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Yogyakarta, 12 Shafar 1430 H
Hamba yang membutuhkan Rabbnya

Abu Mushlih Ari Wahyudi
Semoga Allah mengampuninya,
kedua orang tuanya dan segenap kaum muslimin


Artikel asli: http://abumushlih.com/mengapa-kita-harus-bisa-membaca-kitab.html/